Headlines

Titah Fajar Hari 18 Ramadhan : Wahai Adil kemanakah engkau pergi?

Keseimbangan dunia telah terabaikan sehingga sifat yang dapat dimaknai dengan bertindak sebagaimana mestinya itu sudah pupus hilang, kata tidak berat sebelah dan tanpa keberpihakan sudah jarang kita dengar. Sehingga mayoritas manusia zaman now berperilaku memberikan hak kepada pemiliknya, baik hak itu bersifat ganjaran bagi yang berjasa maupun hukuman bagi yang bersalah kayaknya sudah ditelan bumi.

Fakta memgatakan bahwa bagi bangsa ini dan masyarakat sekarang, adil terkesan mewah dalam realita kehidupan. Popularitas kata adil pada saat ini masih tertinggal jauh dibelakang kata android, pangkat, harta, uang dan lain sebagainya. Begitu pula adanya berbagai lembaga yang berkutat dalam hal putusan dan keadilan sama sekali tidak dapat memposisikan kata adil pada tempatnya, bahkan terkesan mendistorsi makna adil itu sendiri, karena kepentingan sesaat.

Perlu diketahui bahwa sifat adil adalah barang murah, tidak perlu membayar mahal seperti mengikuti seminar atau studi S1, S2 atau S3. Karena kekuatan kata adil  bil in dalam diri tiap insan sebagai pengejawantahan sifat Allah swt ‘al-‘adilu. Setiap individu yang hanya memerlukan modal kemauan saja untuk menghadirkannya. Adil bagaikan emas dan permata yang telah tersedia di dalam etalase namun sangat jarang orang membelinya karena mahal.

Dengan demikian, dalam usaha mewujudkan potensi adil yang terkandung dalam diri individu inilah perlu riyadhah dan habit atau kebiasaan. Adil harus diterapkan dalam ruang lingkup kehidupan paling kecil, dari individu, keluarga, dan dari pemerintahan tingkat RT hingga tigkat pusat. Sehingga para bapak bangsa ini menjadikan konsep “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagai salah satu dari Pancasila sebagai Dasar Negara.

Tentunya keadilan menjadi salah satu basic struktur yang harus ada di semua lini kehidupan. Dengan bahasa lain Keadilan merupakan masalah ushuliyah yang eksistensinya sudah merupakan barang pasti yang tidak bisa diganti dengan yang lain, apabila hidup ini ingin lestari. Bukankah demikian peringatan Allah kepada Nabi Daud yang tergambar dalam surat as-shad ayat 26:

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

Saya pikir sudah jelas kiranya janji Allah dalam ayat tersebut. Bahwa keadilan adalah syarat absolut seorang pemimpin, karena keadilanlah yang akan menentukan arah keberlanjutan sebuah bangsa. Demikian pentingnya keadilan hingga ada sebuah cerita tentang seorang darwis yang dimintai pendapat tentang pemimpin yang dhazilim.

Sa’di bercerita; Alkisah, Seorang raja yang zalim berkenan memanggil seorang darwis ke istananya untuk memberi nasihat. Ketika sufi itu datang, Raja Zalim berkata, “Berikan aku nasihat. Amal apa yang paling utama untuk aku lakukan sebagai bekalku ke akhirat nanti?”

Sang darwis menjawab, “Amal terbaik untuk baginda adalah tidur.” Raja itu keheranan, “Mengapa?” “Karena ketika tidur,” jawab sufi itu, “baginda berhenti menzalimi rakyat. Ketika baginda tidur, rakyat dapat beristirahat dari kezaliman.”

Namun manusia adalah insan yang sering lalai dan mudah tergoda dengan berbagai bujuk rayu syetan yang menyesatkan. Karenanya hampir dalam setiap tahapan kehidupan ini kedhaliman hadir menggantikan posisi keadilan. Begitulah hingga Rasulullah saw pernah bersabda:

سيأتى زمان علي امتي سلاطينهم كالاسد ووزراءهم كالذئب وقضئهم كالكلب وسائر الناس كالاغنام فكيف يعيش الغنام من

 الاسد والذئب والكلب ؟

Akan tiba satu waktu kepada umatku penguasanya seperti singa, para menterinya seperti serigala, dan hakim-hakimnya seperti anjing. Sementara itu umat kebanyakan bagaikan kambing. Bagaimana bisa kambing hidup diantara singa, serigala dan anjing?

Lalu apakah maksud penguasa seperti singa dalam konteks hadits ini? tidak, singa ditamsilkan dalam hadits ini bukan dalam hal keberanian, tapi dalam hal kerakusannya. Singa selalu saja memburu makanan dan demi kepentingan pribadi dan golongannya. Sementara serigala terkenal dengan sifat gesit dan licik. Ia bisa menggunakan berbagai cara demi menghasilkan buruan walaupun dengan jalan tidak ksatria. Sedangkan anjing yang suka menjilat pandai sekali menyembunyikan kebuasannya dibalik kejinakan yang dimilikinya. Begitulah Rasulullah saw menerang keberadaan umatnya. Apakah massa yang dimaksud dengan hadits tersebut telah tiba? Wallahu a’lam bis shawab.

Hanya saja sebagai garis petunjuk adalah surat An-Nisa’ ayat 135 haruslah dipegang seorang pemimpin.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ بِٱلْقِسْطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمْ أَوِ ٱلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَٱللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلْهَوَىٰٓ أَن تَعْدِلُوا۟ وَإِن تَلْوُۥٓا۟ أَوْ تُعْرِضُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

Sangat jelas sekali,  bahwa adil harus senantiasa hadir dalam setiap ruang lingkup kehidupan,  karena tanpa kehadirannya hidup ini akan jauh dari keseimbangan yang diharapkan oleh semua manusia.  Mudah- mudahan Allah senantiasa menjaga kita untuk berlaku adil pada setiap langkah hidup kita,  lebih- lebih ketika kita nanti menjadi pemimpin,  baik dalam skala besar atau kecil,  amin ya Rab! (11-05-2020)

Penulis : H. Zainuddin, M.Pd.I (Kepala Pengurus PP. Miftahul Ulum Bakid)

Leave a Reply