Oleh: Reza Pahlevi
mubakid.or.id – Pada saat pembinaan muallim Al-Qur’an bersama staf pengajar dari PIQ Singosari Malang Ust. Yasin Wasiat, S. Pd., beliau Menjelaskan tentang macam-macam pembaca Al-Qur’an, Ust. Yasin mengutip pendapat syeikh Makky Nashr Al-Juraisy dalam karangannya kitab Nihayatul Qoulil Mufid Fi Ilmi Tajwidil Qur’anil Majid mengatakan bahwa pembaca Al-Qur’an ada tiga macam, yaitu:
1. Muhsin Ma’jur (محسن مأجور) ialah seseorang yang bacaan Al-Qur’annya dianggap baik dan memperoleh pahala, yaitu orang orang yang belajar Al-Qur’an sesuai dengan perintah Allah dalam Surah Al-Muzammil ayat 4: وَرَتِّلِ ٱلْقُرْءَانَ تَرْتِيلًا “Dan bacalah Al-Quran dengan tartil.”
Tartil maksudnya bukan hanya sekadar lagunya, tapi tartil menurut sayyidina Ali “تجويد الحروف ومعرفة الوقوف” yaitu mentajwidkan huruf sesuai makhorijul huruf, shifatul huruf dan tajwid dengan baik dan benar.
2. معذور (Uzur) ialah orang orang yang cara baca Al-Qur’annya kurang baik dan tidak bisa bagus dikarenakan ia masih belum pernah belajar Al-Qur’an, tidak ada kesempatan belajar, atau ia tidak menemukan guru yang dapat mengajarinya belajar baca Al-Qur’an dengan benar, maka hukum bacaannya dimaafkan (mendapat keringanan).
Atau ada kesempatan belajar, ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk bisa belajar baca Al-Qur’an Dengan baik dan benar, tapi tetap tidak bisa, seperti keterbatasan lisan, tidak bisa melafalkan ra’ karena pelat, maka hukum bacaannya juga ma’dzur. Bahkan dalam Hadist menyebutkan, macam orang yang seperti ini masih mendapatkan dua pahala, pertama pahala usaha belajarnya, kedua pahala bacanya juga tetap ada.
3. Musi’atin (مسيئة) ialah orang yang berbuat jelek serta berdosa yaitu orang yang membaca Al-Qur’an tidak sesuai dengan tajwid, seenaknya sendiri, yaitu orang orang yang membiarkan dirinya tidak bisa membaca Al-Qur’an sesuai dengan tajwid, padahal dia mempunyai kesempatan untuk belajar, punya guru untuk belajar “merasa kalo dirinya sudah menjadi tokoh, merasa gengsi jika harus kembali belajar baca Al-Qur’an, dan membiarkan dirinya larut dalam kesalahan. Jika ia membaca Al-Qur’an ada kekeliruan makraj yang sampai merubah makna, maka ia akan terjerumus dalam keharaman.
Nah, semoga kita selaku santri termotivasi untuk memperbaiki bacaan Al-Qur’an sesuai dengan tajwid, sehingga menjadi teladan bagi Masyarakat awam. Kemudian menyebarkan bacaan yang baik dan benar semampu kita kepada Masyarakat, tentunya dengan cara yang bijaksana. Wallahu A’lam