Dunia akhir-akhir ini dihebohkan dengan sesuatu penemuan yang baru, dan mungkin hanya pertama kali seperti manusia yang bertahan hidup dengan bantuan transplantasi dari organ tubuh hewan. Yaitu menggantikan fungsi organ yang mengalami disfungsi. Dalam transplantasi ini, terdapat problem-problem yang harus kita bahas. Karena meninjau organ tubuh hewan yang akan di transplantasi seperti yang terdapat dalam kasus ini, yaitu hanya organ tubuh babi yang cocok terhadap manusia sedangkan yang lainnya nihil. Terus bagaimana Islam menyikapi hal ini, apakah boleh atau tidak ?
Dalam masalah ini, kita harus menyikapinya dengan lebih hati-hati agar tidak memberikan kelonggaran hukum syar’i, dalam artian tidak keluar dari jalur garis yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an, Hadits, Qiyas, dan Ijma’. Karena itu merupakan tolak ukur hukum dalam agama Islam.
Pertama kita bahas transplantasi sendiri, menurut ahli ilmu kedokteran: yaitu pemindahan kumpulan sel-sel atau organ tubuh seperti jantung, hati dan lain-lain, dari tempat satu ke tempat yang lain. Dari pandangan tersebut semua bisa digunakan tanpa ada qayyid yang harus dihindarkan dalam memindah organ tubuh, sedangkan kalau ditinjau dari segi yang kedua yaitu kebolehannya hal ini masih ada yang harus dikecualikan, karena tidak semua organ bisa di pindah apalagi organ yang satu ini, yang sudah jelas tentang keharamannya yaitu organ tubuh babi.
Dalam surah al- maidah ayat 3 dijelaskan sebagai berikut:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِه وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ )الأية……)
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih”.
Dari ayat tersebut sudah jelas tentang keharaman babi. Juga menurut imam syafi’I babi termasuk najis yang mughalladzah. Namun dalam hal ini kondisinya sangat mendesak seperti seseorang yang terkena penyakit jantung yang parah sekali, sehingga untuk menjaga keberlangsungan hidup ia harus mengganti jantungnya sendiri dengan jantung yang lain. Jika jantung yang diganti tersebut menggunakan jantung manusia, mungkin hal ini jarang atau sangat nihil sekali, jadi terpaksa harus menggunakan organ tubuh hewan yang cocok dengan organ tubuh manusia yaitu organ tubuh babi.
Jika keadaan dharurat dan tidak menemukan organ tubuh yang cocok selain itu maka hal ini diperbolehkan menurut pendapat Imam Ramli, Imam Isnawi dan Imam Subki. Sedangkan menurut Imam Ibnu Hajar, orang yang menerima transplantasi tersebut harus ma’shum. Sebagaimana redaksi di bawah ini:
قوله (وَلَوْ وَصَلَ عَظْمَهُ) لِانْكِسَارِهِ مَثَلاً وَاحْتِيَاجِهِ إِلَى الْوَصْلِ (بِنَجْسٍ لِفَقْدِ الطَّاهِرِ) الصَّالِحِ لِلْوَصْلِ أَوْ وَجَدَهُ وَقَالَ أَهْلُ الْخُبْرَةِ أَنَّهُ لاَ يَنْفَعُ وَوَصَلَهُ بِالنَّجِسِ (فَمَعْذُوْرٌ) فِيْ ذَلِكَ فَتَصِحُّ صَلاَتُهُ مَعَهُ لِلضَّرُوْرَةِ … وَلَوْ قَالَ أَهْلُ الْخِبْرَةِ أَنَّ لَحْمَ اْلأَدَمِيِّ لاَ يَنْجَبِرُ سَرِيْعًا إِلاَّ بِعَظْمِ نَحْوِ كَلْبٍ فَيُتَّجَهُ كَمَا قَالَ اْلأَسْنَوِيُّ أَنَّهُ عُذْرٌ … (وَإِلاَّ) أَيْ وَإِنْ وَصَلَ بِهِ مَعَ وُجُوْدِ الطَّاهِرِ الصَّالِحِ أَوْ لَمْ يَحْتَجْ إِلَى الْوَصْلِ حَرُمَ عَلَيْهِ لِتَعَدِّ بِهِ وَ (وَجَبَ) عَلَيْهِ (نَزْعُهُ) وَأُجْبِرَ عَلَى ذَلِكَ (إِنْ لَمْ يَخَفْ ضَرَرًا ظَاهِرًا
Artinya: “(Dan bila seseorang menyambung tulangnya) karena pecah misalnya, dan butuh disambung, (dengan najis karena tidak ada tulang suci) yang layak) dijadikan penyambung, atau ada namun seorang pakar berkata: “Sungguh tulang suci tersebut tidak berguna.”, dan ia menyambungnya dengan tulang najis, (maka ia dianggap udzur) dalam hal tersebut, oleh sebab itu shalatnya tetap sah besertaan tulang najis tersebut –di tubuhnya-, karena kondisi darurat. … Dan bila seorang pakar berkata: “Sungguh daging manusia itu tidak bisa tertambal kecuali dengan tulang semacam anjing.”, maka kondisi itu dinilai kuat sebagai udzur -boleh menambal dengannya- seperti hemat al-Isnawi, … (dan bila tidak begitu), maksudnya bila ia menyambungnya dengan tulang najis dalam kondisi terdapat tulang suci, atau tidak butuh menyambungnya, maka penyambungan itu haram karena keteledorannya, dan (wajib) baginya (mencopot tulang najis itu), dan ia dipaksa mencopotnya (bila tidak khawatir bahaya yang nyata),” Muhammad Al-Khatib As-Syirbini, Mughnil Muhtaj, jilid I, halaman 190-191).
Dari ungkapan tersebut boleh namun ada dua kesimpulan yang pertama boleh jika memang tidak ada organ tubuh yang suci, yang bisa digunakan untuk transplantasi terhadap manusia. Kedua, organ suci tersebut ada. Namun para pakar ahli dokter berkata “Bahwa organ suci tersebut tidak cocok untuk manusia kecuali dengan organ tubuh babi maka hal ini diperbolehkan, dengan catatan sangat dibutuhkan”.
Disarikan dari kitab Mughnil Muhtaj, jilid I, halaman 190-191.
Penulis: Anas saifullah
Editor: Kholili