Headlines

Menyembah Nama Allah atau Dzat Allah?

Oleh : Sirojul Munir *)

Sebagai satu diantara fan ilmu keislaman yang wajib dipelajari bagi setiap cendekiawan muslim muslimah didunia adalah Ilmu Kalam. Ilmu kalam atau ilmu Aqidah atau sering juga diistilahkan dengan Ilmu Tauhid memiliki beberapa pembahasan yang sering kali membawa kepada midan berfikir yang membingungkan tentang haqiqat tuhan. Kesalah fahaman dalam memahami dan mengulas ilmu ini sering kali membawa kepada pemahaman yang jauh dari ajaran ajaran Quran dan Sunnah. Fatalnya bahkan bisa menyebabkan terjerumusnya keimanan kepada jurang kemurtadan.

Dalam hal ini ulama’ Ahlussunah Waljamah sebagai Firqotun Najiyah telah bersama bersama bersepakat bahwa Ilmu Aqidah yang telah disepakati untuk bersama sama berada pada batasan batasan yang telah digariskan dan dirumuskan oleh dua Imam Madzhab yaitu; Imam Abu Mansur Al Maturidi dan Abul Hasan Al Asyari.

Namun terlepas dari itu, lebih spesifiknya pembahasan kali ini tidak membahas tentang Ilmu kalam secara keseluruhan. Akan tetapi lebih kepada mengulas tentang istilah ismullah, Nama atau Asma Allah. Bagaimana bisa menyembah nama Allah (Sebatas nama) ? Bukankah seharusnya yang benar menyembah dzat Allah?. Bagaimana mungkin berlindung dengan asma Allah (Sebatas lafadz) ? Bukankah yang benar berlindung kepada Allah?.

Didalam kitab Nurudzolam syarah Nadzom Aqidatul Awam telah membahas secara detail untuk menjawab tentang hal tersebut ;

وَ اعْلَمْ) أَنَّ الْاِسْمَ عَيْنُ الْمُسَمَّى كَمَا عَلَيْهِ أَكْثَرُ الْأَشَاعِرَةِ قال تعالى : سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ وَ قَالَ أَيْضًا: مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ إِلَّا أَسْمَاءً و ظَاهِرٌ أَنَّ التَّسْبِيْحَ وَ الْعِبَادَةَ لِلذَّوَاتِ.

Ketahuilah sesungguhnya nama (Allah) itu adalah ‘ain (haqiqat dzāt) dari sesuatu yang diberi nama denganya (dengan nama Allah) seperti pendapat kebanyakan kaum al-Asy‘arī (ahl-us-sunnah wal-jamā‘ah). Berdasarkan dalil Firman Allah: “Sucikanlah nama Tuhanmu…..” (QS 87 al-A‘lā: 1). Dan firman-Nya juga: “Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama……” (QS 12 Yūsuf: 40). Jelasnya dari ayat tersebut adalah bahwa tasbīḥ (Menyucikan) dan ibadah (Menyembah) ditujukan kepada dzat dzat (bukan nama).

Pembahasan penting dari penjelasan tersebut adalah bahwa berlindung, menyucikan, atau penyembahan terhadap asma Allah (Ismun) dalam beberapa pernyataan yang sering di istilahkan dimasyarakat, sudah dicukupkan atas pengertian berlindung, menyucikan dan menyembahnya seseorang terhadap dzat Allah. Bukan sekedar lafadz atau asma’.

Dipenjelasan selanjutnya Syech Nawawi Al Banteni menampilkan perbedaan pendapat ulama’ tentang hal tersebut. Berbeda dengan pendapat sebelumnya, di pandangan ulama’ yang kedua ini lebih kepada menggunakan pendekatan Rasional (Aqli).

وَ قِيْلَ الْاِسْمُ غَيْرُ الْمُسَمَّى لِقَوْلِهِ تَعَالَى: لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَ لَا بُدَّ مِنَ الْمُغَايَرَةِ بَيْنَ الشَّيْءِ وَ مَا هُوَ لَهُ وَ لِتَعَدُّدِ الْأَسْمَاءِ مَعَ اتِّحَادِ الْمُسَمَّى وَ لَوْ كَانَ عَيْنَهُ لَاحْتَرَقَ فَمُّ مَنْ قَالَ نَارًا إِلَى غَيْرِ ذلِكَ مِنَ الْمَفَاسِدِ.

Menurut satu pendapat (qīl): “Nama (Allah) bukanlah haqiqat Dzat yang diberi nama dengaNya. Berdasarkan firman Allah ta‘ālā: “…..Dia mempunyai al-Asmā’-ul-Ḥusnā (nama-nama yang baik),” (QS 20 Thāhā: 8/QS 59 al-Ḥasyr: 24). Mengenai perkataan di atas, perlu adanya pembedaan antara sesuatu (dzat) dan sesuatu yang dimiliki (sesuatu yang dinamakan) oleh sesuatu itu, dan nama-nama beserta hakikat dzat nama-nama itu. Andaikan nama adalah hakikat dzat yang dinamai dengannya maka mulut orang yang mengatakan sesuatu yang bernama ‘api’ pastinya akan terbakar karena nama ‘api’ itu adalah dzat api itu sendiri, dan contoh lain-lainnya, yaitu hal-hal yang berbahaya.

Dipendapat menurut qil ini menganalogikan asma asma Allah dengan Dzatnya dengan nama Api dan bendanya (benda Api itu sendiri). Dianalogikan, seandainya nama saja adalah haqiqat dari suatu benda, ketika kita mengatakan kata “Api” mulut seketika akan terbakar, sebab nama Api adalah dzat, bukan benda Api yang panas menyala nyala itu saja. Demikian juga mengatakan nama Pisau, seketika mulut akan teriris sebab nama atau kata Pisau adalah dzat dari benda pisau itu sendiri. Artinya jika Nama merupakan dzat, seperti sebagaimana pendapat yang disampaikan ulama’ Asyairoh tidaklah rasional.

Dua pendapat yang berbeda ini dapat disimpulkan bahwa; dipendapat yang pertama dari kalangan Asyairah mengatakan bahwa Nama adalah termasuk dari dzat. Sedang menurut qil atau pendapat yang kedua mengatakan suatu Nama bukan merupakan dzat. Nah, dari keduanya lalu pendapat manakah yang seharusnya kita ikuti ?.

Lebih lanjut setelah menampilkan dua perbedaan argumentasi tentang Ismun, Syech Nawawi Al Banteni merumuskan dalam akhir pernyataanya ;


وَ التَّحْقِيْقُ أَنَّهُ إِنْ أُرِيْدَ مِنَ الْاِسْمِ اللَّفْظُ فَهُوَ غَيْرُ مُسَمَّاهُ قَطْعًا أَيْ بِلَا خِلَافٍ وَ إِنْ أُرِيْدَ بِهِ مَا يُفْهَمُ مِنْهُ فَهُوَ عَيْنُ الْمُسَمَى قَالَهُ الشَّنْوَانِيُّ .

Dan yang benar adalah bahwa sesungguhnya jika nama dimaksudkan (dikehendaki) sebagai lafazh, maka pasti ia bukan sesuatu yang dinamakan (bukan termasuk dzat), dengan tanpa ada perbedaan pendapat. Jika nama dimaksudkan sebagai apa yang difahami darinya (mafhūm-nya bukan manthūq-nya), maka ia (nama) adalah ‘ain (dzāt) dari sesuatu yang dinamakan, seperti yang telah dikatakan oleh Imām asy-Syanwānī.

Jika kita contohkan; Misalnya menyebutkan Lafadz Allah, sepontan ada dua pemahaman yang dimungkinkan terjadi ; Apabila yang dimaksud sekedar Lafadz tentu yang dimaksud adalah sebatas lafadz saja, semisal dengan lafadz kaligrafi yang tertulis sebagai ornamen hiasan masjid.

Sedangkan jika menyebutkan Asma atau lafadz Allah yang dimaksud adalah dzatullah tentu yang dimaksud tuhan yang kita sembah, disucikan, dan memintah perlindungan terhadapnya. Sehingga jika kita sering menerjemahkan ta’awud dengan ” Aku Berlindung Dengan Asma Allah” berarti yang dimaksudkan berlindung kepada Allah, Bukan Asmanya atau Lafadznya. Demikian pula Lafadz Ar Rohman, Ar Rohim, Al Malik, dan 99 asma Allah yang lain. Sebab itu dalam satu qoidah fiqih mengatakan :
مقاصد اللفظ على نية اللافظ
Maksud tujuan suatu lafadz tergantung niat seseorang yang melafadzkan.

Wallahu A’lamu Binafsil Amri

*) Santri PP. Miftahul Ulum Bakid

Leave a Reply