Oleh : Muh. Ghufron Hidayatullah, SH. *)
Rasul Allah diutus untuk menyempurnakan akhlak. Allah menyukai hambanya yang menghiasi kesehariannya dengan akhlak mulia dan tidak senang melihat hambanya yang tidak menghiasi dirinya dengan hal itu. Rasul Allah mendapatkan sanjungan agung dari Allah SWT karena kpribadiannya yang luhur, tepacar sinar akhlak yang agung. Akhlak juga merupakan blueprint tatanan sosial yang membawa keadilan dan kesejahteraan, lebih lagi apabila akhlak ini dimiliki oleh seseorang yang mempunyai hak memberikan kebijakan dalam mengatur masyarakat.
Berawal dari itu, maka kewajiban yang paling utama bagi setiap mukmin ialah memahami makna akhlak secara komprehensif untuk diimplementasikan ditengah-tengah kehidupan sebagai bekal untuk mendapatkan kebagiaan abadi di kehidupan akhirat ketika berjumpa dengan tuhannya.
Abu Bakr (dalam riwayat lain Hisyam bin Amr) pernah bertanya kepada ‘Aishah ra tentang akhlak Rasul Allah SAW, ‘Aishah menjawab, ”Akhlak Rasul Allah adalah al-Qur’an’’.(HR Muslim).
Sungguh, jawaban Aishah ini sarat makna, Ia menyifati Rasul Allah SAW dengan satu sifat yang mewakili seluruh sifat yang ada dalam al-Qur’an. al-Qur’an yang memancarkan bermacam-macam sinar aturan, anjuran serta kewajiban bertujuan untuk memberikan cahaya kepada manusia agar tidak berada dalam kegelapan hidup dan semua aturan itu adalah akhlak Rasul Allah SAW.
Apabilah al-Qur’an adalah makna dan definisi dari akhlak maka setiap mukmin berkewajiban untuk memhami isi kandungan al-Qur’an, tidak pilah-pilih hukum yang ada didalammnya, patuh dan tunduk kepada semua isi dalam al-Qur’an. mulai akhlak sosial antar sesama manusia, sebagaimana Nabi Yusuf yang tidak pernah dendam kepada saudaranya yang mereka telah berbuat khilaf kepadanya, Yusuf berkata,: “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang”.[QS Yusuf 9], akhlak khusus untuk wanita (Fikih al-Nisa), sebagaimana dalam surah al-Ahzab yang melarang wanita untuk tidak melembutkan suaranya ketika berinteraksi dengan lelaki yang bukan mahramnya, “Maka janganlah kamu Lirihkan dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah Perkataan yang baik,” (QS. Al Ahzab : 32), akhlak kepada kepada guru, sebagai mana Nabi Musa yang berguru kapapa nabi Khidir, akhlak dalam ibadah, dengan memahami Salat (fikih Ubudiyah, dapat membedakan rukun dan sunnah salat, dll), akhlak dalam bertransaksi (fikih Muamalah, mulai dari akad bai’, salam, qiradl, dll agar terhindar dari riba), akhlak dalam berpasangan, (Fikih Munakahat, adanya wali mujbir dalam pernikahan, hak prioritas kewalian, kafa’ah dalam pasangan dll), akhlak dalam warisan (fikih mawarith, porsentase hak-hak anak, bibi, nenek, istri dan semua yang berhak menerima warisan), Akhlah dalam keadilan saat menjadi hakim (fikih Qadlaya) dan akhlak-akhlak lainnya.
Dari uraian ini dapat kita simpulkan bahwa makna akhlak adalah isi dari kandungan al-Qur’an yang menyimpan banyak varian hukum, mulai dari sosial hablum mina al-nas, atau ubudiah hablu mina Allah. Dengan mengetahui dan memahami isinya, kita akan lebih obyektif untuk menentukan pilihan kebijakan hidup. karena tidak semua kelembutan itu baik, ada saatnya kita tegas, sebagaimana syaikhina Halil al-Bangkalani dan Sayyidina Umar yang mereka tetapt dikabarkan menjadi penghuni surge, dan adakalanya kita lemah lembut sebagaimana Sayyidina Abu Bakr dan Syaih Abd al-Hamid Pasuruan.
Tahapan dan kontekstualitas yang diajarkan oleh al-Qur’an telah terpancar dari Ahwal para sahabat, tabi’in, guru, teman-teman saleh yang telah berhasil menyatukan ilmu dan amal dalam menjalani kehidupan. Maka dari itu, kita haruslah memperbanyak untuk senantiasa bersama dan mentauladani kehidupan mereka, agar lebih mudah untuk memahami teks al-Qur’an dalam kehidupan Nyata.
*) Alumni PPMU BAKID dan Mahasiswa Program Pascasarjan UIN Sunan Ampel Surabaya