Headlines

Imam Abu Ishaq al-Syirazi dan Gelar Syaikh dari Rasulullah SAW (Pakar Hukum Islam; Sang pengembara, Zuhud, Wara’, dan tekun)

Oleh : M. Hamdan Hidayatullah)*

Abu Ishaq Al-Syirazi

Bagi seorang santri nama ini mungkin tidak asing lagi di telinga, khususnya bagi para pegiat kajian turats. Beliau adalah penulis kitab terkenal dalam kajian fiqh al-madzhab as-syafi,i, yaitu al-Muhadzab Fi Fiqh al-Imam as-Syafi’i. Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuz Abadiy al-Syiraziy. As-Syaikh Abu Ishaq ini dilahirkan pada tahun 393 H / 1003 M tepatnya di kota Fairuz Abad Negeri Persia, oleh karena itu namanya dinisbatkan ke tempat lahirnya.

Hal yang memukau darinya ialah gelar yang ia sandang. Bukan hanya sekedar Lc, MA, atau bahkan Ph.D sekalipun, sebagaimana yang diberikan oleh lembaga-lembaga pendidikan di Timur Tengah. Tapi gelar ini adalah as-Syaikh, dan yang lebih membuatnya spektakuler ialah gelar itu bukan ia dapat dari lembaga tertentu atau masyarakat luas seperti ulama’-ulama’ pada umumnya, melainkan langsung panggilan (red;laqob) dari Rasulullah SAW. Waw…!

Hal ini sebagaimana hikayat yang beliau kisahkan sendiri. Berikut adalah nukilan dari perkataan nya, [Sungguh aku pernah tertidur, kemudian aku bermimpi melihat Nabi Muhammad SAW bersama kedua sahabatnya, Abu Bakar dan Umar, RA. lantas aku pun berkata kepada beliau, “wahai Rasulallah, telah banyak hadits-hadits yang sampai kepadaku dari beberapa periwayat, maka aku ingin mendengar sebuah berita darimu, yang sebabnya aku bisa memiliki kehormatan di dunia dan aku bisa menjadikan nya perbekalan di akhirat kelak”. Kemudian beliau pun berkata kepadaku, “Wahai syaikh,,!”(dalam percakapan ini beliau memanggil Imam Abu Ishaq dengan kata Syaikh, dan ia pun bergembira dengan sapaan itu). Imam Abu Ishaq menuturkan bahwa setelah memanggilnya, Rasulullah SAW juga bersabda, “Barang siapa yang ingin mendapat keselamatan maka hendaklah ia mencarinya dengan menjaga keselamatan orang lain”).

Dan dikemudian hari setelah peristiwa mimpi itu, Imam Abu Ishaq mulai dikenal dikalangan ulama’-ulama’ al-madzab as-syafi’i dengan julukan As-Syaikh, sampai kemudian laqab ini juga masyhur di kitab-kitab syafi’iyah. Selain itu beliau juga dikenal oleh masyarakat luas sebagai intelektual muslim yang pakar dalam hukum islam, khususnya fiqh al-madzhab as-Syafi’i.

Sebenarnya beliau mepunyai banyak identitas, diantaranya; al-Imam, az-Zahid, al-‘Abid, al-Wara’, al-Mu’ridh ‘an ad-Dunya, al-Muqbil Biqolbihi ‘ala al-Akhirah,dll. Namun yang masyhur di antara laqob-laqob tadi ialah panggilan As-Syaikh.

Pakar Fiqh : Sang Pengembara

Sebelum Imam Abu Ishaq menjadi seorang pakar fiqh sebagaimana yang kita ketahui saat ini, beliau sudah mengenyam masa-masa pahit dan lamanya dalam mencari ilmu. As-Syaikh sudah terbiasa membaktikan dirinya untuk mencari ilmu sejak masih berusia belia. Beliau pertama kali belajar kepada Syaikh Abi Abdillah Umar As-Syirazi (salah satu sahabat Abu Hamid al-Ghazali dan orang pertama yang menisbatkan dirinya ke Fairuz Abadiy). Hingga pada tahun 410 H As-Syaikh muda meninggalkan tanah kelahiran untuk pengembaraan intelektualnya.

Sejarah mencatat, lumayan banyak negeri atau kota yang sudah dijajakinya dalam pengembaraan. Diantaranya ialah negeri Syiraz sendiri,  kemudian dilanjutkan ke kota Bashrah dan Baghdad. Dari pengembaraan itu beliau banyak mendapat suapan ilmu dari beberapa ulama’ di sana, terutama dalam konsentrasi kajian al-madzhab as-Syafi’i yang meliputi; fiqh, ushul, munadzharah, jadal, dan kajian-kajian lain nya.

Pada masanya tercatat, bahwa guru terbesar yang sangat berpengaruh dalam mencetak kepribadian nya sebagai sosok pakar hukum Islam ialah Al-Qadhi Al-Imam Abu Thayyib Thahir bin Abdillah bin Thahir At-Thabari (W: 450 H). lumayan lama masa As-Syaikh bermulazmah di majlis gurunya ini, sekitar 10 tahun. Setelah itu beliau mendapat izin dari sang guru untuk mengajar di majlis itu selama beberapa tahun, dan peristiwa ini terjadi sekitar tahun 430-an Hijriyah. Setelah melalui masa-masa itu, barulah As-Syaikh berpamit kepada gurunya dan mendirikan sebuah majlis sendiri di kota Baghdad. Inilah yang menjadi awal kisah beliau sebagai seorang Imam Besar dengan gelar As-Syaikh dalam literasi al-madzhab as-syafi’i.

Pakar Fiqh : Sangat Zuhud dan Wara’

Selain terkenal sebagai seorang pakar hokum islam, Imam Abu Ishaq juga terkenal sebagai sosok yang sangat zuhud dan wara’, tidak terlalu bersahabat dengan urusan duniawi dan cinta terhadap hal-hal ukhrawi. Refleksi ketakwaan nya yang selalu menjaga dia dari perbuatan-perbuatan dosa. Oleh karena itu, Imam Abu Ishaq hanya sedikit/secukupnya mengabil bagian nya dari urusan dunia yang diyakininya halal. Dan selain dari hal tersebut, beliau tidak sedikitpun menoleh kepada urusan duniawi.

Semasa hidupnya beliau selalu menghadapi keadaan yang sangat pahit. Dikisahkan bahwa Imam Abu Ishaq hanya memiliki sebuah sorban dan satu baju yang terbuat dari kain woll. Imam al-Qadhi Abu al-Abbas al-Jurjani menuturkan, bahwa “Imam Abu Ishaq Al-Syirazi tidak miliki sedikitpun perbendaharaan duniawi. Ia sangat faqir, bahkan hampir tidak menjumpai makanan dan pakaian di sisinya. Dan ketika kami mendatangi rumahnya, ia menyambut kami dengan berdiri separuh baya karena takut auratnya terlihat. Mungkin karena memang pakaian yang beliau kenakan kurang dari selayaknya.

Imam Abu Ishaq sangat iffah dan qona’ah dalam menghadapi kenyataan hidupnya. Ia tidak mepunyai fikiran sedikit pun untuk mengenyangkan dirinya dengan dunia. Karena menurutnya, kenyang akan hal duniawi itu hanya akan membuat jiwanya miskin dan menghalanginya untuk mencapai apa yang ia tujukan. Menurut Imam Abu Ishaq jalan menuju Allah SWT bekalnya itu zuhud, energinya adalah ketaqwaan, nutrisinya ialah meninggalkan hal-hal yang lezat, sedangkan pakaian nya adalah keimanan, dan naungan nya adalah ajaran Al-Imam As-Syafi’i dan sahabat-sahabatnya.

Ada sebuah cerita bahwa karena sangat fakirnya, Imam Abu Ishaq tidak mempunyai bekal dan kendaraan untuk melaksanakan ibadah haji sebagaimana ulama-ulama lain pada saat itu. Padahal ia sendiri tahu seandainya ia mengandalkan kelebihanya, mungkin bisa menggunakan fasilitas pemerintah untuk berangkat ibadah haji. Ya, mungkin karena saat itu beliau adalah seorang Imam besar dalam al-madzhab as-Syafi’i dan mendapat dukungan penuh dari pemerintahan. Tapi beliau tidak mau hal yang sedemikian rupa. Sehingga beliau tercatat sebagai ulama yang belum pernah melaksanakan ibadah haji.

Dalam hal kewaraan, Al-Imam As-Sam’ani menukil sebuah kisah tentang Imam Abu Ishaq. Bahwa As-Syaikh Abu Ishaq pada suatu hari masuk masjid untuk makan siang, setelah itu dia lupa (meninggalkan) uangnya di masjid. Setelah beberapa langkah perjalanan pulang, Imam Abu Ishaq teringat bahwa uangnya tertinggal di masjid. lantas ia kembali lagi ke sana dan mendapati uang itu masih berada di dalam masjid. Namun Imam Abu ishaq alih-alih mengambilnya dan dibawanya pulang, malah ia berkata “bisa jadi ini adalah uang orang yang juga tertinggal di sini, dan uangku sudah ada yang mengambilnya” dan terus beranjak pulang dengan tidak membawa uang tersebut.

Pakar Fiqh : Pembelajar Yang Tekun

Jika dilihat dari aktifitas keseharian, Imam Abu Ishaq adalah sosok pribadi yang sangat tekun dalam menggali intelektualitasnya. Ia mengisi waktu yang dianugrahkan tuhan hanya untuk belajar dan ibadah, selain itu tidak ada lagi hal-hal yang menyibukkan nya dari dua perkara tadi. Hal ini bisa kita fahami dari sejarah bahwa beliau memang sangat tidak bersahabat dengan keindahan-keindahan duniawi, misalnya seperi beristri, makan, ataupun berpakaian (dijelaskan secara detail di paragraf sebelumnya).

As-Syaikh Abu Ishaq memiliki talenta yang sangat bagus dalam literasi madzhab, terutama kajian khilafiyah, dan al-madzhab as-syaf’i sendiri khususnya. Ia merupakan sosok peneliti hukum islam yang sangat profesional. Bisa dikatakan beliau tidak pernah menerima sebuah hukum tanpa adanya pemeriksaan terlebih dahulu, atau mengeluarkan sebuah kebijakan dalam hukum islam kecuali telah dipertimbangkannya secara hati-hati. Dan dari segi intelektualitas, penegetahuan yang beliau miliki lumayan atau bisa dikatakan sangat dalam. Dalam hal ini beliau berkata, “Aku mengulang-ulang setiap mata pelajaran sebanyak seratus kali”. Ada riwayat lagi bahwa ketika membaca sebuah qiyas beliau mengulang-ulanginya sebanyak seribu kali. Very good…!

Dan ternyata, selain sosok intelektualis beliau itu juga seorang pujangga loh. Berikut adalah gubahan-gubahan beliau, baik yang berupa kata mutiara atau syair:

“العَوَامُ يَنْسِبُونَ بِالأَوْلَادِ , وَالأَغْنِيَاءُ بِالأَمْوَالِ , والعُلَمَاءُ بِالعِلْمِ “

Orang-orang pada umumnya menasabkan (diri) dengan anak-anak, sedang orang kaya menasabkan dengan harta, dan orang-orang alim menasabkan dengan ilmu.

(dalam syair ini beliau berkata “barang siapa yang membaca satu masalah kepadaku berarti dia (aku anggap) anak ku”

“عَلِمْتَ مَا حَلَّلَ المَوْلَى وَحَرَّمَهُ # فَاعْمَلْ بِعِلْمِكَ إِنَّ العِلْمَ بِالعَمَلِ”

Kamu tahu apa yang dihalalkan dan yang diharamkan oleh tuhan,

Maka amalkanlah pengetahuan mu itu, sesungguhnya ilmu itu untuk diamalkan.

“الجَاهِلُ بِالعَالِمِ يَقْتَدِي , فَإِذَا كَانَ العَالِمُ لَا يَعْمَلُ بِعِلْمِهِ فَالجَاهِلُ مَا يَرْجُو مِنْ نَفْسِهِ , فَالله الله يَا أَوْلَادِي نَعُوذُ بِاللهِ مِنْ عِلْمٍ يَصِيرُ حُجَّةً عَلَيْنَا”

Orang bodoh meneladani orang pintar. Namun ketika orang pintar tidak mengamalkan ilmunya, maka orang bodoh pun tidak mengharapkan nya. Demi tuhan wahai anak-anak ku, kita memohon perlindungan kepada Allah dari ilmu yang akan menjadi ancaman terhadap kita.

لَبِسْتُ ثَوْبَ الرَّجَا وَالنَّاسُ قَدْ رَقَدُوا # وَقُمْتُ أَشْكُو إِلَى مَوْلَايَ مَا أَجِدُ

وَقلْتُ يَا عدَّتِي فِي كُلِّ نَائِبَةٍ # وَمَنْ عَلَيْهِ لِكَشْفِ الضُّرِّ أَعْتَمِدُ

أَشْكُو إِلَيْكَ أُمُورًا أَنْتَ تَعْلَمُهَا # مَا لِي عَنْ حَمْلِهَا صَبْرٌ وَلَا جَلَدُ

وَقَدْ مَدَدْتُ بِالذُّلِّ مُبْتَهِلٌا # اِلَيْكَ يَا خَيْرَ مَنْ مُدَّتْ إِلَيْهِ يَدُ

فَلَا تَردَنَّهَا يَا رَبّ خَائِبَةً # فَبَحْرُ جُودِكَ يَرْوِي كُلَّ مَنْ يَرِدُ

Aku mengenakan pakaian pengharapan(berdo’a dan berharap kepada tuhan), sedangkan orang lain tertidur pulas, # dan aku mengadukan kepada tuhan apa yang aku dapati.

Dan aku berkata “duhai masaku yang penuh kemalangan”, # dan aku percayakan kepadanya(tuhan) untuk menghilangkan segala luka.

Aku keluhkan kepadamu (tuhan) hal-hal yang engkau ketahui, # aku tidak mempunyai kesabaran dan kekuatan untuk mengemban nya.

Dan sungguh aku melalui kehinaan, seraya memohon dengan sebenar benarnya # kepadamu wahai sebaik-baik dzat yang diuluri tangan (dipanjati do’a).

Maka jangan membalasnya wahai tuhan dengan kegagalan, # maka lautan kedermawaan mu mengisahkan setiap orang yang datang.

إِذَا تَخَلَّفْتَ عَنْ صَدِيقٍ # وَلَمْ يُعَاتِبْكَ فِي التَّخَلُّفِ

فَلَا تَعُدْ بَعْدَهَا إِلَيْهِ # فَإِنَّمَا وُدَّهُ تَكَلُّف

Ketika engkau tertinggal oleh seorang sahabat,

# namun ia tidak mengingatkan mu akan ketertinggalan itu

Maka jangan lagi kembali(berteman) kepadanya setelah itu.

# Karena cintanya hanya paksaan(palsu).

Singkat cerita, As-Syaikh Al-Imam Abu Ishaq A-Syirazi Al-Fairuz Abadiy berpulang ke rahmatullah pada hari Ahad, 21 Jumadil Akhir 476 H, tepatnya di Kota Baghdad.

            Tulisan yang agak pendek ini belumlah mencakup seluruh kisah pengembaraan Imam Abu Ishaq yang sangat memukau, melainkan hanya membahas sebagian kecil. Oleh karena itu sangatlah tidak sepadan jika dibandingkan kitab-kitab sirah yang lebih komprehensif. (‘ala kulli naqa’ish wal’afwu minkum, wallahu a’lamu).

)* Alumni PP. Miftahul Ulum Bakid yang sedang menempuh studi di Universitas Al-Ahgaf  Yaman

Leave a Reply