Oleh : Nur Komariyah *)
Tak ada kata terlambat selama masih ada semangat. Tak ada kata ketinggalan jaman jika masih memiliki pengetahuan, sekarang sulit mencari orang yang primitif kecuali memang di tempat yang nun jauh di sana. Itulah kebenarannya sekarang.
Terlambat. Itu katamu tapi kata Naira tidak. Seorang perempuan hitam manis dan lesung pipi di sebelah kanan menghiasi keasrian wajah dan aurora kepintarannya.
Kaca mata minus selalu bertengger menambahkan akan dia anak yang suka membaca.
Tapi lain dengan Naira ia berkaca mata bukan berarti suka baca tapi memang sudah sejak umur 19 tahun mata sebelah kanan mengalami minus 25, sehingga mau tak mau ia berkacamata membuat jadi ciri khasnya jika di sapa.
****
“Mbak Naira berkacamata”
Setiap bakda Ashar sudah menjadi kebiasaanku bersantai di pinggir Musholla dengan Al-Qur’an yang selali dalam pelukan. Keistikamahan ini sudah bertahun-tahun aku lalui hingga tak sulit jika mencariku. Selalu dipinggir Musholla.
10 tahun berada di Pondok Pesantren Putri Al-Miftah Lumajang, tak ada perasaan bosan atau lainnya. Jiwaku selalu mengatakan masih beberapa tahun yang lalu mondok, tidak merasa begitu lama berada di tempat yang istijabah ini, karena ada rasa aman, tenteram, damai dan tenang dalam jiwa.
Aku mendapat beban tugas yang jika dipikir berat, tapi jalani saja sesuai aturan. “Seksi Kebersihan” tugas yang ku sandang terasa berat jika sudah seluruh badan terasa penat, tapi aku tak mengerti kenapa terpilih sebagai Seksi Kesehatan, aku tak merasa pantas dengan tugas ini, tapi apalah daya sebuah pakonan dari guru jadi harus sami’na wa atho’na.
Anehnya lagi, banyak teman-teman yang bilang membuat aku tidak percaya saja.
“Karena sudah dari orangnya Nai. Kamu bersih dan rapi dalam berpenampilan, tidak banyak gaya dalam berpenampilan. Lihat, Kerut-kerut baju akibat dilipat jarang terlihat dalam pakaianmu. Kerudung yang simple tapi asri dilihat”
Mendengar penuturan Lutvia membuatku melongo saja.
Terserah apa tanggapan mereka yang penting perintah harus dilaksanakan. Tugas harus dijalankan dan amanah harus dipertanggung jawab kan. Itu motto untuk semangat dalam menjalankan tugas. Masalah barokah nanti setelah mengabdi, barokah akan datang dengan sendirinya. Biridloillah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:179), berkah adalah “karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia”.
Menurut istilah, berkah (barokah) artinya ziyadatul khair, yakni “bertambahnya kebaikan”
****
“Nai……” panggil teman lamaku yang sudah lama boyong, ia membawa dedek bayi dalam gendongannya.
“Ulfi……. Aku kangennnn” seraya memeluknya dari samping. Senangnya bisa bertemu dengan teman lama, teman karib, teman kentel, teman makan, mandi, guyon sebarang wes. Pokoknya Ulfi teman terbaik.
“Nai. Kapan berhenti?” Tanyanya dengan mata berbinar
“Apakah sudah ada calon?”
Aku menatapnya heran kok tanya kapan berhenti, calon. Pertanyaan yang tak seharusnya bagi seorang teman yang sudah lama dak bertemu.
Sepersekian menit aku ketawa mendengar pertanyaannya.
“Loh Fi. Kenapa tanya kapan berhenti to…. nopo, calon mane. Kulo mboten arep boyong sak niki”
“Terus apakah ada calon?” Tanya Ulfi lagi.
“Cak lon caan maksudnya” sambil tersenyum.
“Ih…..! Naira. Bukan. Calon Imam maksudku, bukan cak loncaan” sambil cemberut.
“Abisnya pertanyaan kamu itu…. bikin saya ketawa saja Ulfi”
“Cak loncaan saya tahu. Itu bahasa madura kan? Sama halnya loncat loncatan”
Aku terpingkal-pingkal melihat ekspresi Ulfi dengan muka songongnya.
“Calon Imamku masih belajar. Mungkin”
“Yang benar Nai”
“Hehehhe. Benar. Tapi….. dak tahu siapa dia” mendengar penuturanku, Ulfi sedikit heran dan terkejut. Akhirnya keluarlah ketawa dari keduanya yang di susul oleh Lutvia.
“Benar? Kamu dak gurau kan?” Tanyanya lagi.
“Loh. Saya jawab dibilang gurau. Mananya yang bergurau?”
“Kamu tuh cantik. Manis. Tinggi semampai. Kok belum punya calon?”
“Pertanyaan kamu seperti anak-anak saja Fi. Emang orang punya calon karena ini?” Seraya menunjuk wajahnya sambil tersenyum.
“Atau punya calon karena ini juga?” Seraya berdiri memperagakan bak model.
“Tidak juga kan? Melainkan jodoh akan datang bila sudah tiba masanya dan sudah Allah tentukan kapan waktunya serta orangnya”
Aku tak selamanya berpikir positif terkadang juga termakan omongan orang lain hingga membuatku jengah dan aras-arasan.
Meskipun seperti itu berusaha untuk berpikir positif atau berprasangka baik, namun tidak jarang mendengar cibiran yang tak enak di dengar.
“Sudah 29 tahun kok belum nikah-nikah ya?” Cibiran demi cibiran.
“Apa dak malu jadi perawan tua”
“Mungkin cari orang kaya, ustadz atau nunggu kekasihnya yang tak kunjung datang”
Mendengar itu rasanya ingin aku sambar habis-habisan, tapi Lutvia mencegahku dengan menenangkan amarah yang sudah mau keluar dari sarangnya.
Aku tersinggung dengan pandangan mereka yang dianggap pilih-pilih, sok kemahalan, cari yang selevel dan bla bla bla, terlalu banyak untuk diceritakan bagaimana jika kejelekan orang lain mudah terekspos, tak sadarkah akan kejelekannya sendiri tak dilihat dan itu yang realitanya sekarang. Itulah kekurangan kita yaitu mudah menilai orang lain namun tak bisa menilai dirinya sendiri.
Sudah tidak jarang membicarakan kejelekan orang lain mudah serasa air mengalir dijalannya, tapi jika bicara kejelekan sendiri banyak sangkalan-sangkalan buat alasan kalau Aku tak seperti itu. Itu sudah kenyataannya. Rasa intropeksi diri sudah mulai berkurang. Sekarang bukan hanya lidah yang bisa berghibah. Pun tangan bisa ikut andil berghibah. Coba dilihat status orang-orang yang lagi benci dan mengatakan inilah, itulah dan cek komentator para krunya ada yang mengiyakan ada pula yang melarang. Kita termasuk di mana? Namun tak semua status negatif, tapi ghibah sudah menyebar kemana-mana dan kita tak menyadari sedikit pun akan kelalaian itu.
Baca Juga :
Dapur Umum Santri (Cerpen)
“Intropeksi diri adalah jalan terbaik sekarang”
Tidak juga di rumah, pandangan mereka kenapa aku belum juga nikah-nikah membuat malas untuk bersosialita dimasyarakat.
Tetangga pun mengomentari kenapa statusku tak berubah-berubah. Senyuman dan anggukan jawaban yang tepat menurutku.
“Aku malas menjawab pertanyaan mereka. Nikahhhhh terus! Emang dak ada pertanyaan lain apa?” Cibir Naira pas sudah berada di rumah.
“Kenapa Nai?” Tanya ibu ketika melihat Aku cemberut.
“Bu. Kenapa sih orang-orang pada nanya kapan nikah? Masih nunggu siapa? Apa masih mau sekolah. Perempuan itu tetap pergi ke dapur, sumur, kasur. Emang tak ada pertanyaan lain ya Bu?. Kok itu terusss” dengan cemberut.
Ibu hanya tersenyum melihat tingkahku.
“Biarkan sudah, meskipun kamu tak senang mendengarnya jangan tampakkan. Jawab sebaik mungkin”
“Bagaimana Naira dak marah Bu coba. Pergi ke pasar “Naira… kapan pulang dari Pondok? Apa mau nikahan?” Pergi ke toko “Naira supirmu mana kok sendirian?” Emang jodoh itu supir?”
Bu Sholeha tambah tersenyum mendengarnya.
“Naira ke pasar beli apa?” Tanya Ibu untuk mengalihkan pembicaraanku.
“Sayur Bayam Bu. Bumbu mentah dan ikan Tongkol” seraya mengeluarkan dari keranjang.
“Naira yang masak ya? Ibu mau ke muslimatan dulu”
“Siap Bu”
Bulan Maulid. Bulan di mana kelahiran Rosulullah SAW dirayakan secara bersama-sama dengan penuh suka cita. Bermacam-macam buah, kue, dan juga nasi sebagai bentuk rasa syukur. Orang-orang akan berkumpul dengan membaca sholawat bersama, munjiat dan bahkan burdah di musholla atau lapangan. Aku pulang beberapa hari untuk merayakannya di rumah dengan keluarga, namun tidak suka pulangan, karena ujung-ujungnya bisa malas mau kembali ke Pondok jika sudah kena suasana di rumah. Itula sebabnya Aku hanya pulang sementara dan langsung balek ke Pondok Al-Miftah.
“Mbak Sholeha” ada seseorang perempuan memanggil Ibu. Sejenak kami menoleh dan mendapati seorang perempuan cantik berjilbab sya’i hijau Toska senada dengan gamis yang dipakai.
“Fadhilah. Bagaimana kabarmu?” Tanya Ibu.
“Alhamdulilkah Mbak, saya sehat. Mbak sholeha bagaimana? Sudah lama dak bertemu Mbak, saya benar2 kangen”
“Alhamdulillah seperti yang Bu Nyai lihat”
“Jangan panggil Bu nyai Mbak. Samean ini kakak senior saya di Pondok, bahkan Ustazah saya, jangan panggil saya Bu Nyai. Panggil nama saya saja.
“Mboten Mbak. Tidak enak sendiri jika saya manggil nama saja”
“Mbak ini masih saja sama” seraya merangkul bahu ibu.
“Ini siapa Mbak?” Menunjuk Naira.
“Ini Naira………. putri saya”
“Sudah besar Mbak” Aku menyalami serta mencium punggung tangannya.
“Mondok di mana Nduk?”
“Pondok Pesantren al-Miftah”
“Sudah berapa tahun?”
“Masih baru beberapa tahun”
Mendengar baru beberapa tahun Nyai Fadhilah heran, ia melihat Bu Sholeha dan bertanya dengan tatapannya.
“Beberapa tahun Mbak?” Ibu tersenyum.
“Sepuluh tahun”
“Alhamdulillah” ucap Nyai Fadhilah.
“Sudah punya calon?” Mendengar pertanyaan itu Aku refleks langsung menoleh dan tersenyum.
“Belum” menjawab ibu lagi.
Nyai Fadhilah hanya mengangguk saja mengerti bagaimana jika pembicaraan ini diteruskan arahnya akan ke mana.
Perbincangan hangat terjadi di antara kami, melepas rindu.
Cibiran mereka juga tak sampai di sana saja, pandangannya pun mulai terasa ketika aku mulai bersama. Apa lagi ketemu sama anak yang dak suka, maka bersiap-siaplah tebalkan telinga.
“Sudah Nai. Ngapain mikirin omongan mereka?” Cegah Lutvia teman seangkatan dalam menjalankan amanat Pesantren.
“Abisnya Lut. Mereka tidak mikir perasaanku gimana?” Sambil menautkan kedua alis.
“Mereka yang berpendapat seperti itu berarti kurang mengerti kalau jodoh itu di tangan Tuhan”
Aku diam tak merespon, namun wajah murung terpampang jelas menghuasi amarahku.
“Menururku jika terlalu dipikir bukan mereka yang rugi, tapi kamu sendiri loh”
“Loh! Kok bisa aku”
“Iya. Coba dipikir-pikir. Ada orang mengatakan ini dan itu terus kita memikirkan apa yang mereka katakan, secara tidak sadar kita akan mencari pembenaran perkataan mereka dan akan membuktikan perkataan mereka. Jika sudah seperti itu kita tak akan sadar kalau kita sudah tak bisa menjadi diri sendiri melainkan adanya sikap kita karena orang lain”
“Iya juga sih…, kalau begini terus akunya yang rugi juga ya?”
“Iya Nai… biarkan mereka berkata apa. Yang penting kita bahagia. Toh yang ngejalanin hidup kita ya kita sendiri bukan mereka, kenapa mereka yang sewot”
Setelah mendengar penuturan Lutvia aku tersenyum. Aku merasa seakan-akan mendapatkan semangat dan kekuatan menanggapi cibiran yang negatif.
“So….positif tinkhing saja sekarang”
“Ok. Tak selama kan seperti ini kan Lut? Waktu saja berputar, bumi pun berputar, masa depan terus berjalan dan aku pun juga akan terus mengejar impian, jika dibiarkan begini mungkin aku yang berdiri di tempat, tak ada kemajuan”
****
“Naira. Ayo pulang saja Nak. Ibu tidak tega jika kamu sakit di sini”
“Tidak apa-apa ibu. Saya pasti baik-baik saja Kok. Lagian saya sudah periksa ke dokter tadi siang, jadi ibu tidak usah khawatir” memegang kedua telapak tangan ibunya serta meyakinkan kalau dirinya memang baik-baik saja.
“Nduk. Tadi malam ada seseorang ke rumah” suaranya sepelan mungkin.
“Saya sudah pasrah apa kata Ibu dan Bapak”
“Tidak bisa begitu Nduk. Kamu sudah dewasa bisa memilih pilihannya sendiri. Ia jika Bapak dan Ibu cocok tapi kamu tidak, bagaimana jadinya nanti”
“Bu. Naira sudah berapa kali memilih. Setiap ada orang ke rumah Naira yang memutuskan dan akhirnya tak ada yang sampai ke pelaminan. Naira jadi Trauma Bu. Naira sudah terima Mas Anton, meskipun ia tidak pandai mengaji tapi apa yang terjadi Bu? Hubungan terputus dari sepihak. Saya sudah berusaha menerima Riyan walaupun dia pintar dan berkelas, orang-orang bilang saya pilih-pilih, akhirnya putus di tengah jalan meskipun Naira tidak tahu apa permasalahannya. Apakah itu tidak berdampak pada Naira Bu?”
“Ia nak. Maafkan Ibu dan Bapak jika sudah membuatmu seperti ini”
“Ibu tidak perlu minta maaf. Ini sudah takdir, yang harus dilakukan Naira sekarang berusaha memperbaiki diri”
Bu Sholeha terdiam, sudah terlihat dari raut wajahnya kalau ia memikirkan suatu hal.
“Saya pasrah sama Ibu dan Bapak ya? Yang penting orang itu bisa mengimami Naira sholat dan bisa mengaji. Jika dia sudah baik dalam Shalat pasti tentang hal yang lain pasti baik Bu. Saya percaya itu. Orang yang menjaga sholatnya dengan baik pasti akan bisa menjaga lainnya dengan baik pula”
Senyum Bu sholeha mengembang dengan apa yang dikatakan Aku barusan.
“Naira. Ibu yakin laki-laki ini akan menjadi imam yang baik buatmu. Ibu akan lakukan apa yang kamu pinta Nak. Setelah sampai di rumah hanya akan ada pernikahanmu” ucap ibu dalam hatinya.
Seorang wanita ketika masih remaja menginginkan suami yang tampan. Wanita ketika dewasa menginginkan laki-laki yang mapan, tapi ketika wanita tersebut belajar menuntut ilmu agama, maka yang ia inginkan laki-laki yang beriman.
Sudah jelas tertera dalam al-Qur’an surah an-Nur ayat 26.
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
“Perempuan yang keji adalah untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji pula. Perempuan yang baik adalah untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik pula.” (QS. An Nur: 26)
Jadi tugasnya sekarang berusaha untuk memperbaiki diri agar orang baik dan terbaik itu akan datang. Bagiku jika ingin laki-laki yang bertanggung jawab maka diri kita harus bertanggung jawab. Ingin yang sholeh maka sholehakanlah diri sendiri dulu. Ingin yang penyayang maka menjadilah orang yang penyayang.
Jika ingin mendapatkan laki-laki seperti Nabi Muhammad maka usahakanlah diri ini seperti Khatijah dan Aisyah.
Ingin laki-laki seperti Sayyidina Ali maka Fatimahkan dulu kita. Bisa pasti bisa selama ada kemauan dan semangat.
Tidak ada yang tahu beberapa hal hanya Allah SWT., semata yang mengetahuinya. Ajal, rezeki dan jodoh. Ada pula takdir Allah yang bisa diubah dengan berdoa.
Memang benar apa yang dikatakan ibu. Beliau benar-benar mewujudkannya. Setelah pulang hanya ada pernikahan, namun aku tidak tahu akan menikah dengan siapa. Aku pasrah dan yakin akan firman Allah. Hanya Allah yang menjadi saksi. Acara sederhana dengan mengundang sanak famili tak ada perayaan besar. Aku hanya diam termangu tak percaya bahwa hari ini hari yang istimewa. Siapa gerangan dia yang menghalalkanku dengan sumpah sucinya di hadapan Allah? Siapa gerangan dia yang telah memberiku mahar dengan 3 kalimat syahadat dan uang sesuai tahun kelahiranku? Siapa dia yang telah berani mengambil tanggung jawab untuk mendidikku, menyayangiku? Hanya pertanyaan yang berseliweran dalam benak tanpa ada jawaban. Tiba-tiba pintu kamarku dibuka oleh ibu.
“Nak. Sekarang kamu sudah halal untuk Nak Muhammad Hasyim Asy’ari” seraya memelukku. Aku masih bingung. “Jadi dia Muhammad Hasyim Asy’ari. Nama yang indah” batinku seraya seurat senyum menghiasi wajahku.
Tiba-tiba Bu Nyai Fadhilah teman ibu di waktu mondok juga menghampiriku dan memeluknya.
“Semoga menjadi keluarga sakinah, mawadah, warahmah” sambil tersenyum. Dan ternyata Muhammad Hasyim Asy’ari keponakan Beliau, mataku berkunang-kunang setelah sekian lama akhirnya status dan tanggung jawabku sekarang bertambah menjadi seorang istri. Allah mempertemukan kami melalui Nyai Fadhilah yang tanpa disadari itulah awal perjalanan kami hingga ijab qabul itu terucapkan sampai terdengar kata SAH. Tidak ada pertemuan di antara kami. Tidak ada saling sapa. Tidak ada tatap muka, semua rencana Allah.
“Terima kasih ya Allah” sembah sujud syukurku. Memang jodoh tak ada yang tahu kapan, dengan siapa dan seperti apa. Percayalah dan berdoa jalan yang terbaik.
“ud’uni astajib lakum ( berdoalah pada-Ku niscaya akan aku kabulkan) ” merupakan janji Allah yang pasti dipenuhi, tidak mungkin Allah mengkhianati firman-Nya. Doa merupakan intisari ibadah. Dilihat dari lafadhnya ‘ud’uni fiil amar (perintah) menjalankan perintah Allah merupakan ibadah.
“Bersabarlah bagi yang belum mempunyai pasangan dengan berharap orang yang dinanti-nanti dan diharapkan tak kunjung datang, karena sesungguhnya kita hanya menunggu dua hal kalau bukan jodoh yang akan datang masih ada lagi yaitu ajal. Kita tak akan tahu apakah ajal lebih dulu atau jodoh itu sendiri. Pasrah dan percaya Allah pasti akan mengabulkan doa kita. ‘Ud’uni astajib lakum firman-Nya dalam surah al-Ghafir:60.
*) Alumni PP. Miftahul Uum Banyuputih Kidul